Rindu Pelukan Hangat Nenek

 


Sejak aku membuka mata di dunia ini, wajah pertama yang paling sering kulihat bukanlah ibuku, bukan pula ayahku. Tapi wajah penuh kerut dan senyum hangat itu—wajah Nenek. Di pelukannya aku tumbuh, di suaranya aku belajar menyebut kata pertama, dan di dekapan kasihnya aku mengenal arti rumah yang sesungguhnya.


Nenek bukan hanya perawat masa kecilku. Ia adalah guru kehidupan pertama, pendengar setia rengekanku, sekaligus penjaga impianku yang paling sabar.


Setiap pagi, saat ayam belum sempat berkokok, Nenek sudah menyiapkan sarapan. Terkadang hanya nasi dengan garam, tapi entah bagaimana, rasanya selalu lebih lezat daripada makanan restoran mana pun. Dan ketika malam tiba, di saat aku takut pada petir atau gelap, Nenek menjadi pelindungku. Ia akan mengusap rambutku dan berkata, “Tidurlah, Nak. Nenek di sini.”


Aku tumbuh, tapi cintanya tidak pernah menyusut. Saat aku mulai punya mimpi besar—kuliah, bekerja, menjadi seseorang—Nenek tetap menjadi tempat pulang. Bahkan ketika aku mulai sibuk mengejar dunia, Nenek tak pernah lelah menungguku di beranda, dengan senyumnya yang masih sama, meski tubuhnya tak lagi kuat.


Kini, setiap detik aku berdoa agar waktu memperpanjang usia Nenek. Aku belum jadi apa-apa, tapi aku ingin ia melihatku berdiri tegak di atas pencapaian yang aku bangun, dari batu bata doa dan kerja keras yang ia ajarkan sejak dulu. Aku ingin memeluknya sambil berkata, “Nek, ini semua untukmu. Aku bahagia karena kau tak pernah lelah mencintaiku.”


Nenek, kau bukan hanya bagian dari masa kecilku. Kau adalah alasan aku bisa seperti ini. Jika dunia memberiku satu keajaiban, aku hanya ingin satu hal: agar kau lebih lama tinggal di dunia ini, agar kau tahu bahwa semua lelahmu tidak sia-sia.


Kau adalah rumah… dan aku ingin pulang selamanya padamu.


Canica M.Bimbung

Komentar

Postingan Populer