Langsung ke konten utama
Aku Tak Setenang Itu

Mereka selalu berpikir aku setenang air di laut dalam. Diam. Tenang. Tak tergoyahkan.
Mereka menyukai versiku yang itu—yang selalu tersenyum, mengangguk, dan menuruti alur pembicaraan tanpa pernah menyela.
Tapi mereka tak pernah benar-benar melihatku.
Aku yang sebenarnya… memakai topeng setiap hari.
Topeng ketenangan.
Topeng yang memaksa senyum bahkan ketika hatiku lelah.
Topeng yang aku ciptakan agar dunia tidak menanyakan hal-hal yang tak sanggup aku jawab.
Bukan aku tak ingin melawan ketika mereka menertawakan ku, memperolok dengan candaan yang menusuk tapi dibungkus tawa.
Bukan aku tak ingin berdiri dan berkata, "Aku juga manusia. Aku juga bisa marah."
Tapi aku tahu posisiku.
Aku tahu jika aku menunjukkannya—sisi gelap, sisi rapuh—mereka mungkin takkan nyaman lagi.
Mereka mungkin akan menjauh. Atau yang lebih menyakitkan, mereka akan menganggapku ‘berlebihan’.
Jadi aku diam.
Menahan ombak yang bergulung di dadaku sendiri.
Di kamar, aku membiarkan diriku tenggelam dalam keheningan.
Kadang menatap langit-langit sambil bertanya, "Sampai kapan aku harus menjadi versi yang mereka sukai?"
Kadang bertanya, "Jika aku menjadi diriku sendiri, masih adakah yang akan tinggal?"
Aku bukan laut yang tenang.
Aku badai yang ditahan dalam gelas kecil.
Aku tangis yang ditunda.
Aku bukan damai yang mereka kira—aku hanya ahli menyembunyikan perang.
Dan mungkin, suatu hari nanti…
Akan ada satu orang yang mampu melihat lewat topeng ini.
Memandang mataku, lalu berkata, “Kamu tidak harus pura-pura di depanku.”
Hingga saat itu tiba, aku tetap bertahan.
Bersama topengku.
Bersama gelombang yang kutahan sendiri.
Karena meski mereka pikir aku setenang itu...
Aku tak setenang itu.
Canica M.Bimbung
Komentar
Posting Komentar